Biarkan Perempuan Berlari Seperti Perempuan
(Salah Kaprah Pendidikan Gender)
“Jangan lari seperti perempuan!”
“Jangan cengeng seperti perempuan!”
Di masa lalu, orang tua memotivasi anak laki-laki agar tegar, kuat, cekatan, dan terampil melebihi perempuan karena laki-laki adalah pemimpin dan pelindung perempuan. Perempuan diberi keleluasaan menjalani fitrah keperempuanannya: berdandan cantik, bergaun anggun, bersikap gemulai, berlindung di balik kejantanan laki-laki, melahirkan anak-anak, dan mengurus rumah tangga. Hari ini, perempuan justru dibuat malu berperilaku seperti perempuan.
Padahal, penelitian memang menunjukkan perbedaan karakter antara laki-laki dan perempuan: perempuan lebih memahami isyarat terselubung, cenderung enggan berbeda pendapat, lebih patuh aturan, lebih ekspresif, lebih ingin tahu urusan orang, dan lebih membutuhkan pujian. Laki-laki lebih fokus dalam menyelesaikan tugas, bertanggung jawab selaku pemimpin, lebih termotivasi secara internal [Eagly & Wood, 1991]. Perempuan memiliki angka lebih tinggi dalam dimensi Neuroticism yang meliputi kegelisahan, marah, depresi, rasa malu, dan faktor-faktor emosi lainnya. Dalam dimensi Interpersonal Traits, laki-laki lebih menunjukkan ketegasan dan dominasi sedangkan perempuan lebih menunjukkan kehangatan, kepatuhan, dan kasih sayang [Costa Jr., dkk, 2001]. Laki-laki cenderung memiliki rasa percaya diri yang lebih tinggi. Perempuan cenderung ekstrovert, mudah gelisah, mudah percaya, dan mengasihi [Feingold, 1994].
Perbedaan karakter antara laki-laki dan perempuan ini ditemukan dalam berbagai usia, periode sejarah, tingkat pendidikan, dan negara. Yang mengejutkan, perbedaan gender justru lebih kentara di negara-negara penganut kesetaraan gender, seperti di Eropa dan Amerika. Tingkat depresi kaum perempuan Barat juga ditemukan lebih tinggi dibandingkan perempuan dari negara-negara Timur [Costa Jr., dkk, 2001].
Anatomi Otak
Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan anatomi otak. Fase pertumbuhan dan strukturnya berbeda [Jensen & Nutt, 2014]. Pada bagian supratentorial (otak atas), laki-laki memiliki intrakoneksi hemipheris lebih tinggi, sementara koneksi antarhemipheris dan antarmodule lebih banyak ditemukan pada otak perempuan. Namun, pada cerebellar (otak bagian bawah), terjadi sebaliknya [Ingalhalikar, dkk, 2013]. Jaringan korteks otak perempuan lebih tebal daripada laki-laki [Luders, dkk, 2006]. Gray Matter (zat abu-abu) pada otak laki-laki terfokus pada bagian kiri hemispher, sedangkan perempuan merata [Gur, 1999].
Gambar 1
[Atas] Koneksi otak laki-laki. [Bawah] Koneksi otak perempuan. Garis biru adalah koneksi intrahemispheris, garis oranye adalah koneksi interhemispheris.
Motivasi dan Cara Belajar
Para ahli psikologi pendidikan secara konsisten menemukan tingkat depresi yang lebih tinggi pada murid-murid perempuan, walaupun prestasi akademisnya lebih bagus [Dwyer & Johnson, 1997; Pomerantz, dkk, 2002]. Murid-murid perempuan cenderung mengkritisi diri secara berlebihan dan sulit beradaptasi menghadapi kegagalan [Rubie, dkk, 1993]. Angka Fear of Failure (FF) murid perempuan lebih tinggi. Ketika merasa gagal, mereka justru kehilangan motivasi. Murid laki-laki tidak mengalami kondisi serupa [Vollmer & Almas, 1974].
Gambar 2
Perbandingan nilai rapor antara siswa dan siswi tingkat SMA di Amerika. Tahun 1990-2009 terlihat konsistensi nilai rata-rata siswi lebih tinggi daripada siswa.
Murid perempuan lebih ingin menyenangkan orang tua dan guru [Alper, 1977]. Kedekatan dengan pendidik ditengarai sebagai motivasi meraih nilai tinggi [Steinmayr & Spinath, 2008]. Di bidang bahasa, murid-murid perempuan menunjukkan prestasi lebih baik dikarenakan kecerdasan verbalnya [McGeown, dkk, 2011]. Murid-murid laki-laki cenderung menyukai bidang studi eksakta yang langsung berhubungan dengan angka-angka. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki kemampuan untuk memahami matematika, bahasa, dan ilmu-ilmu lain secara setara, namun memerlukan pendekatan, motivasi dan cara belajar yang berbeda. Keduanya juga memerlukan rentang usia belajar yang berbeda dikarenakan perkembangan otak dan kedewasaan yang tidak identik [Jensen & Nutt, 2014].
Pendidikan Berbasis Gender
Penelitian tentang pendekatan belajar yang lebih efektif untuk masing-masing gender telah lama dimulai [Keightley, 1977]. Salah satunya dengan mengadakan kelas/sekolah terpisah antara laki-laki dan perempuan. Hasil belajar siswa di sekolah khusus laki-laki atau perempuan secara konsisten menunjukkan prestasi yang lebih baik dibandingkan kelas campur. Lulusan sekolah terpisah lebih banyak yang berhasil melanjutkan ke bangku kuliah atau jenjang pendidikan lebih tinggi [Park, dkk, 2013]. Penelitian dari Universitas Cambridge, UK, menemukan bahwa kelas terpisah telah meningkatkan hasil belajar anak laki-laki karena memudahkan mereka berkonsentrasi [BBC News, 2015]. Proyek percobaan (pilot project) dari Universitas Stetson di Florida, AS, diWoodward Avenue Elementary School menunjukkan peningkatan hasil tes yang signifikan pada kelas terpisah.
| Siswa | Siswi |
Kelas campur | 37% berhasil | 59% berhasil |
Kelas terpisah | 86% berhasil | 75% berhasil |
Tabel 1
Perbandingan hasil tes antara kelas campur dan kelas terpisah
Sistem belajar terpisah memberi kesempatan murid-murid perempuan mengeksplorasi diri secara maksimal, terutama dalam mata pelajaran yang biasa didominasi laki-laki, seperti olah raga dan sains. Mereka tidak merasa dianggap sebagai pelengkap sehingga menghambat rasa percaya diri untuk menguasai mata pelajaran tersebut [Kessels & Hannover, 2008]. Diskusi mendalam tentang anatomi tubuh dan cara perkembangbiakan manusia dapat dilakukan tanpa merasa malu terhadap lawan jenis. Murid-murid perempuan menunjukkan hasil belajar biologi dan sains yang lebih baik dalam kelas khusus perempuan [Johnson & Winterbottom, 2011]. Fenomena ini juga ditemukan di negara berkembang seperti Uganda [Picho & Stephens, 2012] dan Kenya [Chetcuti & Kioko, 2012].
Melawan Fitrah
Pendidikan gender seharusnya bertujuan memahami karakter masing-masing gender, mengoptimalkan potensi laki-laki dan perempuan, untuk meningkatkan kualitas hidup keduanya. Pendidikan gender yang benar tidak hadir untuk membunuh perbedaan dan menggiring manusia melawan fitrahnya. Simposium pendidikan perempuan yang diadakan USAID (2000) menyatakan bahwa pendidikan terbaik bagi perempuan bukanlah sekedar memberi kesempatan perempuan masuk kelas, melainkan menyediakan kurikulum yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan perempuan. Sebagai contoh, kurikulum yang mengakomodasi cuti menstruasi dan cuti untuk membantu orang tua mengurus adik-adiknya.
Kurikulum pendidikan berbasis gender seyogyanya mendidik laki-laki menjadi laki-laki, perempuan menjadi perempuan. Laki-laki sebagai pemimpin, pelindung, penanggung jawab dan penjamin nafkah kaum perempuan dan anak-anak [QS. an-Nisa’ 34]. Perempuan menjadi pendamping yang menyenangkan [QS. al-Baqarah 223], kawan diskusi yang cerdas [QS. at-Taubah 71], serta memberikan pondasi kehidupan yang solid bagi penerus generasi berupa pendidikan dalam kandungan, Air Susu Ibu (ASI) dan pengasuhan yang penuh kasih sayang [QS. al-Baqarah 233]. Kesiapan memasuki dunia rumah tangga menurunkan tingkat stres dan depresi pada ibu-ibu muda [Davis, 2008; Grote & Bledsoe, 2007].
Pendidikan gender hari ini telah ditunggangi ideologi kebebasan, menjauhkan manusia dari fitrah bahkan menjadi ajang promosi gaya hidup transeksual. Ide kesetaraan gender berujung pada kebebasan memilih dan mengganti jenis kelamin. Perempuan dan laki-laki boleh bertukar peran gender. Suami menjadi bapak rumah tangga, istri mencari nafkah di luar. ASI disubstitusi susu sapi. Berita kehamilan Thomas Beatie menjadi puncak keberhasilan perjuangan gender: Laki-laki bisa hamil. Padahal, Beatie dulunya memang perempuan. Ia hanya mengoperasi kelamin luarnya. Organ dalam tubuhnya tetaplah perempuan. Beatie menjalani serangkaian prosedur operasi kelamin yang rumit untuk menjadi laki-laki, pada akhirnya kembali menjalani fitrah keperempuanannya: melahirkan anak. Fenomena serupa dijumpai pula pada komunitas laki-laki transgender. “Perempuan buatan” itu didapati kembali menyukai perempuan, lalu mengklaim diri sebagai lesbian [McHugh, 2004].
Inilah kekacauan yang ditimbulkan oleh ide kesetaraan gender. Manusia bingung dengan identitas gendernya, bahkan menggugat Tuhan salah memilihkan jenis kelamin. Kaum transgender dibuat bangga dengan organ palsunya, yang tak mampu memproduksi ASI maupun sperma. Kaum perempuan dibuat ragu untuk menjalani perannya sebagai perempuan. Perempuan yang patuh dianggap lemah. Perempuan yang meminta nafkah disebut manja. Perempuan dituntut untuk mandiri, ikut menanggung ekonomi. Pendidikan perempuan diarahkan untuk mengambil tugas ekonomi laki-laki dan menjauhkan dari tugas sebagai istri dan ibu [Agency for International Development, 2000]. Kaum laki-laki terbuai hingga melupakan tanggung jawabnya sebagai qowwam ‘ala an-nisa’(pelindung kaum perempuan). Ikan dipaksa terbang, melupakan kodratnya untuk berenang. Sepandai-pandainya ikan terbang (flying fish), air tetaplah habitatnya. Ia tidak benar-benar terbang. Ia hanya meloncat sekuat tenaga.
Kehidupan masyarakat menjadi timpang. Laki-laki kehilangan pekerjaan, sementara anak-anak kehilangan ibu [Pawitasari, 2015].Pendidikan berorientasi materialisme menjauhkan perempuan dari keinginan berumah tangga dan memiliki anak [Waite &Spitze, 1978]. Semakin tinggi pendidikan yang ia raih, semakin ia dihadapkan pada pilihan sulit antara karir dan rumah tangga; antara ijazah dan fitrah.Biarkan perempuan menikmati hidup sebagai perempuan dan laki-laki sebagai laki-laki.
“...Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain...” [QS. an-Nisa’ 34]
Daftar Pustaka:
Agency for International Development (IDCA), “Increasing Girls' Educational Participation and Closing the Gender Gap: Basic Education or Girls' Education?”, Symposium on Girls' Education: Evidence, Issues, Actions. Proceedings. (Washington, DC, May 17-18, 2000).
Alper, “Where Are We Now? Discussion of Papers Presented in the 1975 AERA Symposium on Sex Differences in Achievement Motivation and Achievement Behavior”, Psychology of Women Quarterly, Vol. l(3) Spring 1977.
Chetcuti &Kioko, “Girls' Attitudes towards Science in Kenya”, International Journal of Science Education, Vol. 34,No. 10, 2012.
Costa Jr., dkk, “Gender Differences in Personality Traits Across Cultures: Robust and Surprising Findings”, Journal of Personality and Social Psychology, Volume 81, No. 2, 2001.
Davis, “Oh No, Nothing, We Didn't Learn Anything": Sex Education and the Preparation of Girls for Motherhood, c.1930-1970, History of Education, Vol. 37,No. 5 Sep 2008.
Dwyer &Johnson, “Grades, accomplishments, and correlates”, dalam Willingham & Cole (ed), Gender and Fair Assessment, Mahwah, NJ: Laurence Erlbaum, 1997.
Eagly &Wood, “Explaining Sex Differences in Social Behavior: A Meta-Analytic Perspective”, Personality and Social Psychology Bulletin Vol. 17, 1991.
Feingold, “Gender differences in personality: A meta-analysis”, Psychological Bulletin, Vol 116 (3), Nov 1994.
Grote & Bledsoe, “Predicting Postpartum Depressive Symptoms in New Mothers: The Role of Optimism and Stress Frequency during Pregnancy”, Health & Social Work, Vol. 32,No. 2, 2007.
Gur, “Sex Differences in Brain Gray and White Matter in Healthy Young Adults: Correlations with Cognitive Performance”, The Journal of Neuroscience, 19(10), 1999.
Harrison & Lynch, “Social Role Theory and the Perceived Gender Role Orientation of Athletes”, Sex Roles, Vol. 52, No. 3/4, February 2005.
Ingalhalikar, dkk, “Sex differences in the structural connectome of the human brain”, Proceedings of the National Academy of Sciences, Vol. 111 No. 2, 2013.
Jensen&Nutt, “The Teenage Brain”, 2014.
Johnson & Winterbottom, “Supporting Girls' Motivation in Science: A Study of Peer- and Self-Assessment in a Girls-Only Class”, Educational Studies, Vol. 37, No. 4, 2011.
Keightley, “Sex Differences In Student Preferences For, And Perceptions Of, Learning Outcomes And Classroom Activities In Year 11 Biology”, Researchin ScienceEducation, Vol. 7, 1977.
Kessels&Hannover, “When being a girl matters less: Accessibility of gender-related self-knowledge in single-sex and coeducational classes and its impact on students' physics-related self-concept of ability”, British Journal of Educational Psychology, Volume 78, Issue 2, June 2008.
Krampen, dkk, “Gender differences in personality: Biologicaland/or psychological?”, European Journal of Personality, Vol. 4, 1990.
Luders, dkk, “Gender effects on cortical thickness and the influence of scaling”, Human Brain Mapping, 27(4), 2006.
McGeown, dkk, “Gender differences in reading motivation: does sex or gender identity provide a better account?”, Journal of Research in Reading, Volume 3, Issue 2, 2011.
McHugh, Paul, “Why We Stop Doing Sex Change Operations”, First Things: Journal of Religion and Public Life, November 2004.
Park, dkk, “Causal Effects of Single-Sex Schools on College Entrance Exams and College Attendance: Random Assignment in Seoul High Schools”, Demography, Volume 50, Issue 2, April 2013
Pawitasari, Erma,Muslimah Sukses Tanpa Stres, Jakarta: Gema Insani, 2015.
Picho & Stephens, “Culture, Context and Stereotype Threat: A Comparative Analysis of Young Ugandan Women in Coed and Single-Sex Schools”, Journal of Educational Research, Vol. 105,No. 1, 2012.
Pomerantz, dkk, “Making the grade but feeling distressed: Gender differences in academic performance and internal distress”, Journal of Educational Psychology, Vol 94(2), Jun 2002.
Steinmayr& Spinath, “Sex Differences in School Achievement: What Are the Roles of Personality and Achievement Motivation?”, European Journal of Personality, Eur. J. Pers. 22, 2008.
Waite &Spitze, “Female Work Orientation and Marital Events. The Transition to Marriage and Motherhood”, American Sociological Association, 1978.
[1] Dosen Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor